Minggu, 16 Oktober 2016

Resensi Novel La Hami Marah Rusli

RESENSI NOVEL

I.     IDENTITAS NOVEL
Judul buku              : La Hami
Penulis                    : Marah Rusli
Penerbit                  : Balai Pustaka
Tahun Terbit           :
Cetakan pertama   -1953
Cetakan kedua      -1965
Cetakan ketiga      -1978
Cetakan keempat -1986
Cetakan kelima     -1990
Cetakan keenam   -1993
Tempat Terbit                     : Jakarta
Tebal Buku             : 170 Halaman
No ISBN                : 979-407-286-9

II.  SINOPSIS NOVEL
La Hami
        Telah dua bulan lamanya, Ompu Keli dan istrinya menunggu dengan cemas keberadaan anak angkatnya La Hami yang telah disuruh pergi olehnya bertandang ke Gunung Donggo. Perjalanannya mengendarai kuda Sumba dengan senjata parang, tombak, panah,  jerat, dan tanpa membawa bekal makanan. Perjalanannya dari sini ke Kempo melalui Sanggar, dompo, padende, lalu ke Gunung Soromandi. Di Sanggar, La Hami di sambut senang oleh Ompu Ito bahkan La Hami diberi bekal makanan olehnya. Selain perjalanannya ke Gunung Donggo, La Hami juga melakukan perjalanan ke Bima. Ketika perjalanan ke Bima La Hami mengalami beberapa halangan, La Hami turun dari Gunung Soromandi ke Bima tanpa menunggang Sumba. Ketika menyeberang menuju Bima, ikutlah nelayan yang bernama Kifa dan dia menginap di rumahnya. Di tempat tinggal Kifa kebetulan sedang ada perayaan Maulid Nabi dan upacara perayaan Sirih Puan yang diramaikan dengan permainan Kuraci (berpukul-pukulan badan dengan rotan) dan permainan bersepak kaki. Melihat permainan bersepak kaki La Hami tampaknya pingin mencoba, setelah diladeni jago Wera ternyata roboh oleh La Hami. Datang orang tinggi besar menahannya untuk berlawanan, dengan terpaksa karena La Hami dilecehkan, akhirnya dia menuruti tantangan jago dari Sape tersebut dan akhirnya Sape tersebut kalah. La Hami dipanggil Sultan Bima yakni Sultan Kamarudin. Di depan pramesuri Sultan, putri-putrinya, dan para punggawa untuk diberi pekerjaan. Namun, La Hami mohon untuk pulang kampung Sanggar pamit pada kedua orang tuanya.
            Malam hari Ompu Keli bercerita kepada La Hami tentang asal-usulnya. Diceritakan pada 24 tahun yang lalu, yang menjadi Datuk Rangga di negeri Sumbawa adalah Raja Ajong atau Ompu Keli dan didampingi sang istri Putri Nakia. Saat itu Raja Sumbawa adalah Sultan Badrunsyah. Kepergiannya karena keadaan pemerintahan saat itu tidak stabil. Terjadilah fitnah dari Daeng Matita yang haus jabatan. Ia bekerja sama dengan Ponto Wanike, seorang pimpinan bajak dari pulau Ragi. Pada suatu hari, Ompu Keli pergi memancing ke pantai, di situlah, Dewa mendengar tangisan bayi. Setelah didekati ternyata seorang bayi laki-laki yang berumur sekitar satu bulan. Diletakan di atas sampan beralaskan tikar jontal yang  baik anyamannya, berkalung dokoh yang terbuat dari mas, berselimutkan sutera bertekad emas dan semuanya berciri dari Bima. Lalu dibawanya pulang dan di beri nama La Hami, Ina Rinda atau Putri Nakia merasakan senang  karena selama ini tak berketurunan.
            Terdengar kabar oleh Daeng Matita bahwa Raja Ajong yang menyingkirkan diri dari Sumbawa kini ada di pantai Sanggar dengan mengganti nama Ompu Keli dan akhirnya timbul kembali dendam lamanya yang sudah 24 tahun. Daeng Matita  akan segera menyerang Sanggar. Di bagilah tugas mereka dengan Ponto Wanike menyerang  pantai Sanggar dan Daeng Matita menyerang dari arah darat yakni di Lembah Jambu. Perang belum dimulai namun rencana serangan pasukan sumba telah tercium oleh pasukan Sanggar sehingga Sanggar telah bersiap-siap. Di kedua belah pihak terdapat pasukan yang mati dan luka-luka, namun jumlah yang celaka lebih banyak di pihak Sumba. Dengan gagah berani, Ponto Wanike bisa dibunuh oleh La Hami. Kemudian pasukan Sanggar menuju lembah Jambu untuk membabantu Raja Ajong dan Lalu Jala, di tengah perjalanan pasukan yang dipimpin Daeng Matita dihadang oleh pasukan Sanggar dan peperangan terjadi dengan dahsyatnya. Pasukan Sumba terlihat kewalahan karena harapan bantuan dari pasukan lain tidak kunjung datang sementara pasukan Sanggar mendapat bantuan dari Dompo dan Kempo. Semakin paniklah Daeng Matita. Datanglah pasukan La Hami tambahlah kacau pasukan Sumba. Sebagian besar pasukan Sumba terbunuh, Daeng Matita melarikan diri setelah menebas rusuk Raja Ajong. Namun setelah dikejar oleh pasukan Sanggar yang terpencar akhirnya Daeng Matita bisa dilumpuhkan, sedangkan pasukan yang tersisa diampuni dan kembali ke Sumba.
            Sultan Komarudin yang sedang asik bercengkerama dengan permaisuri Cahya Amin dan putrinya Putri Sari Langkas, teringatlah bahwa suatu saat tak ada lagi yang bisa menggantikan baginda karena tak punya anak putra. Anak sulungnya telah diculiknya 24 tahun yang lalu, sedangkan Putri Sari Langkas adalah putri kedua. Akhirnya teringatlah sang permaisuri kepada pemuda yang bernama La Hami karena umur dan perawakannya mirip dengan putra sulungnya bahkan mirip dengan Sultan Komarudin. Khayalannya dengan La Hami akhirnya membuat penasaran yang semakin mendalam. Namun, permaisuri tidaklah yakin karena pemuda itu bernama La Hami yang telah membinasakan Daeng Matita dan Ponto Wanike dari Sumbawa. Cahya Amin lalu membayangkan dan mencari-cari sebab Ompu Keli ternyata Raja Ajong  atau Datu Ranga Sumbawa dulu yang menyingkir ke pantai Sanggar 24 tahun lalu. Namun, permaisuri ragu karena Raja Ajong seingat permaisuri tidak punya anak. Akhirnya permaisuri mengutus pengawal untuk mencari tahu tentang La Hami ke Sanggar. Beberapa hari kemudian, utusan itu pulang memberi kabar bahwa yang sebenarnya La Hami adalah anak Ompu keli, Raja Ajong Sanggar yang dulu adalah Datu Ranga Sumbawa. La Hami adalah anak angkat yang ditemukan di pantai Sanggar ketika masih berumur sekitar satu bulan dengan tanda-tanda ada sehelai tilam daun jontal, sehelai selimut buatan Bima, dan dokoh mas yang amat permainya. Mendengar kabar Cahya Amin sangat gembira karena pastilah La Hami itu putranya dan dengan segera beberapa hari kemudian menyuruh utusan untuk menjemput La Hami.
            Kabar yang menyenangkan seisi istana Sanggar ini membuat Raja Sanggar, Sultan Amarullah, Raja Ajong, Lalu Jala, La Hami, dan Putri Nakia datang menghadap Sultan Abdul Azis untuk mengabarkan perihal yang sebenarnya. Sebelum datang rombongan dari Sanggar, terdengarlah kabar kalau Sultan Bima Sultan Kamaruddin akan datang ke Dompo untuk menjemput putranya La Hami. Perjalanan dari Dompo ke Sanggar, Sultan Kamaruddin diiring oleh Raja Ajong, Permaisuri Cahya Amin dan Putri Sari Langkas diiring oleh Putri Nakia, dan La Hami dengan Lalu Jala. Dalam perjalanan menuju Sanggar terlihatlah pula kalau Lalu Jala menyukai adik La Hami yakni Putri Sari Langkas. Pada suatu hari, Sultan Bima menyampaikan maksudnya melamar Putri Nila Kanti untuk La Hami dan Raja Sanggar Sultan Amarullah melamar Putri Sari Langkas kepada Sultan Bima Sultan Kamaruddin untuk Lalu Jala. Pada hari yang telah ditentukan, dilangsungkanlah perkawinan keempat sejolo ini dengan meriah. Beberapa bulan kemudian, La Hami dinobatkan menjadi Sultan Bima dengan gelar Sultan Abdul Hamid dan Lalu Jala dinobatkan menjadi Sultan Sanggar dengan gelar Sultan Abdul Jalal.

III.   UNSUR INTRINSIK
1.      Tema              : Pencarian jati diri karena La Hami ingin mencari pintu derajatnya.
2.      Tokoh             : La Hami, Empu Keli/Raja Anjong, Ina Rinda/Putri Nakiya, Maliki, Ponto Wanike, Raja Bicara, Permansyuri Cahaya Amin, Putri Nila Kanti.
3.      Alur                : Alur digunakan adalah alur campuran (maju dan mundur)
4.      Latar               :
a.       Tempat     : Sumbawa, Sanggar, Dompo, Pulau Komodo
b.      Suasana    : suasana dalam cerita mengejutkan dan tertarik membacanya.
5.      Amanat          : jangan putus asa ketika mendapat kesulitan karena di sana pasti mendapatkan jalan kemudahan.
6.      Sudut Pandang          : La Hami menceritakan sendiri selama petualangannya dengan menggunakan kata Hamba. Orang pertama pelaku utama.
7.      Gaya Bahasa  : gaya bahasa yang digunakan penulis adalah bahasa melayu dan menggunakan bahasa kerajaan. Bahasa melayu digunakan karena novel tersebut ada pad angkatan 1920-an.




IV.   KELEBIHAN DAN KELEMAHAN
1.      Kelebihan       : kelebihan novel yang berjudul “La Hami” karya Marah Rusli ini adalah alur ceritanya yang tidak mudah ditebak. Setiap bagiannya sangat mengejutkan pembaca sehingga pembaca penasaran dan lebih tertarik.
2.      Kelemahan     : sedangkan kelemahan dalam novel ini adalah dalam segi gaya bahasa yang digunakan karena sedikit menyulitkan pembaca dalam memahami makna ceritanya.

V.      PERBANDINGAN BUKU
Novel La Hami karya Marah Rusli ini akan dibandingkan dengan novel dari Motinggo Busye yang berjudul Badai Sampai Sore. Perbandingan ini akan dilakukan dari sudut kelebihan dan kelemahan dari kedua novel.

Kelebihan dan kelemahan novel La Hami sudah disebutkan di atas, sedangkan novel Badai Sampai Sore karya Motinggo Busye kelemahan dan kelebihannya sebagai berikut.
a.       Kelebihan       : dalam novel banyak terkandung nilai-nilai persahabatan antara Salmun dan Sunarto. Kemudian gaya bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia bukan bahasa melayu. Ceritanya pun masih mengenai kisah kerajaan sedangkan novel Motinggo Busye ini cerita yang dikisahkan sudah mengenai cerita keseharian.

b.      Kelemahan     : kelemahan dalam novel ini adalah pada alur cerita yang digunakan. Alur cerita yang digunakan adalah alur maju sehingga pembaca mudah menebak jalan cerita.
 

3 komentar: