RESENSI
NOVEL
I. IDENTITAS
NOVEL
Judul buku : La Hami
Penulis :
Marah Rusli
Penerbit :
Balai Pustaka
Tahun Terbit :
Cetakan
pertama -1953
Cetakan
kedua -1965
Cetakan
ketiga -1978
Cetakan
keempat -1986
Cetakan
kelima -1990
Cetakan
keenam -1993
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal Buku : 170 Halaman
No ISBN :
979-407-286-9
II. SINOPSIS NOVEL
La Hami
Telah dua bulan lamanya, Ompu Keli dan istrinya menunggu
dengan cemas keberadaan anak angkatnya La Hami yang telah disuruh
pergi olehnya bertandang ke Gunung Donggo. Perjalanannya mengendarai kuda Sumba
dengan senjata parang, tombak, panah, jerat, dan tanpa membawa bekal
makanan. Perjalanannya dari sini ke Kempo melalui Sanggar, dompo, padende, lalu
ke Gunung Soromandi. Di Sanggar, La Hami di sambut senang oleh Ompu Ito bahkan
La Hami diberi bekal makanan olehnya. Selain perjalanannya ke Gunung Donggo, La
Hami juga melakukan perjalanan ke Bima. Ketika perjalanan ke Bima La Hami
mengalami beberapa halangan, La Hami turun dari Gunung Soromandi ke Bima tanpa
menunggang Sumba. Ketika menyeberang menuju Bima, ikutlah nelayan yang bernama
Kifa dan dia menginap di rumahnya. Di tempat tinggal Kifa kebetulan sedang ada
perayaan Maulid Nabi dan upacara perayaan Sirih Puan yang diramaikan dengan
permainan Kuraci (berpukul-pukulan badan dengan rotan) dan permainan bersepak
kaki. Melihat permainan bersepak kaki La Hami tampaknya pingin mencoba, setelah
diladeni jago Wera ternyata roboh oleh La Hami. Datang orang tinggi besar
menahannya untuk berlawanan, dengan terpaksa karena La Hami dilecehkan,
akhirnya dia menuruti tantangan jago dari Sape tersebut dan akhirnya Sape
tersebut kalah. La Hami dipanggil Sultan Bima yakni Sultan Kamarudin. Di depan
pramesuri Sultan, putri-putrinya, dan para punggawa untuk diberi pekerjaan.
Namun, La Hami mohon untuk pulang kampung Sanggar pamit pada kedua orang
tuanya.
Malam hari Ompu Keli bercerita kepada La Hami tentang asal-usulnya. Diceritakan
pada 24 tahun yang lalu, yang menjadi Datuk Rangga di negeri Sumbawa adalah
Raja Ajong atau Ompu Keli dan didampingi sang istri Putri Nakia. Saat itu Raja
Sumbawa adalah Sultan Badrunsyah. Kepergiannya karena keadaan pemerintahan saat
itu tidak stabil. Terjadilah fitnah dari Daeng Matita yang haus jabatan. Ia
bekerja sama dengan Ponto Wanike, seorang pimpinan bajak dari pulau Ragi. Pada
suatu hari, Ompu Keli pergi memancing ke pantai, di situlah, Dewa mendengar
tangisan bayi. Setelah didekati ternyata seorang bayi laki-laki yang berumur
sekitar satu bulan. Diletakan di atas sampan beralaskan tikar jontal yang
baik anyamannya, berkalung dokoh yang terbuat dari mas, berselimutkan sutera
bertekad emas dan semuanya berciri dari Bima. Lalu dibawanya pulang dan di beri
nama La Hami, Ina Rinda atau Putri Nakia merasakan senang karena selama
ini tak berketurunan.
Terdengar kabar oleh Daeng Matita bahwa Raja Ajong yang menyingkirkan diri dari
Sumbawa kini ada di pantai Sanggar dengan mengganti nama Ompu Keli dan akhirnya
timbul kembali dendam lamanya yang sudah 24 tahun. Daeng Matita akan
segera menyerang Sanggar. Di bagilah tugas mereka dengan Ponto Wanike
menyerang pantai Sanggar dan Daeng Matita menyerang dari arah darat yakni
di Lembah Jambu. Perang belum dimulai namun rencana serangan pasukan sumba
telah tercium oleh pasukan Sanggar sehingga Sanggar telah bersiap-siap. Di
kedua belah pihak terdapat pasukan yang mati dan luka-luka, namun jumlah yang
celaka lebih banyak di pihak Sumba. Dengan gagah berani, Ponto Wanike bisa
dibunuh oleh La Hami. Kemudian pasukan Sanggar menuju lembah Jambu untuk
membabantu Raja Ajong dan Lalu Jala, di tengah perjalanan pasukan yang dipimpin
Daeng Matita dihadang oleh pasukan Sanggar dan peperangan terjadi dengan
dahsyatnya. Pasukan Sumba terlihat kewalahan karena harapan bantuan dari
pasukan lain tidak kunjung datang sementara pasukan Sanggar mendapat bantuan
dari Dompo dan Kempo. Semakin paniklah Daeng Matita. Datanglah pasukan La Hami
tambahlah kacau pasukan Sumba. Sebagian besar pasukan Sumba terbunuh, Daeng
Matita melarikan diri setelah menebas rusuk Raja Ajong. Namun setelah dikejar
oleh pasukan Sanggar yang terpencar akhirnya Daeng Matita bisa dilumpuhkan,
sedangkan pasukan yang tersisa diampuni dan kembali ke Sumba.
Sultan
Komarudin yang sedang asik bercengkerama dengan permaisuri Cahya Amin dan
putrinya Putri Sari Langkas, teringatlah bahwa suatu saat tak ada lagi yang
bisa menggantikan baginda karena tak punya anak putra. Anak sulungnya telah
diculiknya 24 tahun yang lalu, sedangkan Putri Sari Langkas adalah putri kedua.
Akhirnya teringatlah sang permaisuri kepada pemuda yang bernama La Hami karena
umur dan perawakannya mirip dengan putra sulungnya bahkan mirip dengan Sultan
Komarudin. Khayalannya dengan La Hami akhirnya membuat penasaran yang semakin
mendalam. Namun, permaisuri tidaklah yakin karena pemuda itu bernama La Hami
yang telah membinasakan Daeng Matita dan Ponto Wanike dari Sumbawa. Cahya Amin
lalu membayangkan dan mencari-cari sebab Ompu Keli ternyata Raja Ajong
atau Datu Ranga Sumbawa dulu yang menyingkir ke pantai Sanggar 24 tahun lalu.
Namun, permaisuri ragu karena Raja Ajong seingat permaisuri tidak punya anak.
Akhirnya permaisuri mengutus pengawal untuk mencari tahu tentang La Hami ke
Sanggar. Beberapa hari kemudian, utusan itu pulang memberi kabar bahwa yang
sebenarnya La Hami adalah anak Ompu keli, Raja Ajong Sanggar yang dulu adalah
Datu Ranga Sumbawa. La Hami adalah anak angkat yang ditemukan di pantai Sanggar
ketika masih berumur sekitar satu bulan dengan tanda-tanda ada sehelai tilam
daun jontal, sehelai selimut buatan Bima, dan dokoh mas yang amat permainya.
Mendengar kabar Cahya Amin sangat gembira karena pastilah La Hami itu putranya
dan dengan segera beberapa hari kemudian menyuruh utusan untuk menjemput La
Hami.
Kabar yang menyenangkan seisi istana Sanggar ini membuat Raja Sanggar, Sultan
Amarullah, Raja Ajong, Lalu Jala, La Hami, dan Putri Nakia datang menghadap
Sultan Abdul Azis untuk mengabarkan perihal yang sebenarnya. Sebelum datang
rombongan dari Sanggar, terdengarlah kabar kalau Sultan Bima Sultan Kamaruddin
akan datang ke Dompo untuk menjemput putranya La Hami. Perjalanan dari Dompo ke
Sanggar, Sultan Kamaruddin diiring oleh Raja Ajong, Permaisuri Cahya Amin dan
Putri Sari Langkas diiring oleh Putri Nakia, dan La Hami dengan Lalu Jala.
Dalam perjalanan menuju Sanggar terlihatlah pula kalau Lalu Jala menyukai adik
La Hami yakni Putri Sari Langkas. Pada suatu hari, Sultan Bima menyampaikan
maksudnya melamar Putri Nila Kanti untuk La Hami dan Raja Sanggar Sultan
Amarullah melamar Putri Sari Langkas kepada Sultan Bima Sultan Kamaruddin untuk
Lalu Jala. Pada hari yang telah ditentukan, dilangsungkanlah perkawinan keempat
sejolo ini dengan meriah. Beberapa bulan kemudian, La Hami dinobatkan menjadi
Sultan Bima dengan gelar Sultan Abdul Hamid dan Lalu Jala dinobatkan menjadi
Sultan Sanggar dengan gelar Sultan Abdul Jalal.
III.
UNSUR INTRINSIK
1.
Tema :
Pencarian jati diri karena La Hami ingin mencari pintu derajatnya.
2.
Tokoh :
La Hami, Empu Keli/Raja Anjong, Ina Rinda/Putri Nakiya, Maliki, Ponto Wanike,
Raja Bicara, Permansyuri Cahaya Amin, Putri Nila Kanti.
3.
Alur :
Alur digunakan adalah alur campuran (maju dan mundur)
4.
Latar :
a.
Tempat :
Sumbawa, Sanggar, Dompo, Pulau Komodo
b.
Suasana : suasana
dalam cerita mengejutkan dan tertarik membacanya.
5.
Amanat :
jangan putus asa ketika mendapat kesulitan karena di sana pasti mendapatkan
jalan kemudahan.
6.
Sudut Pandang :
La Hami menceritakan sendiri selama petualangannya dengan menggunakan kata
Hamba. Orang pertama pelaku utama.
7.
Gaya Bahasa : gaya
bahasa yang digunakan penulis adalah bahasa melayu dan menggunakan bahasa
kerajaan. Bahasa melayu digunakan karena novel tersebut ada pad angkatan
1920-an.
IV.
KELEBIHAN DAN
KELEMAHAN
1.
Kelebihan :
kelebihan novel yang berjudul “La Hami” karya Marah Rusli ini adalah alur
ceritanya yang tidak mudah ditebak. Setiap bagiannya sangat mengejutkan pembaca
sehingga pembaca penasaran dan lebih tertarik.
2.
Kelemahan :
sedangkan kelemahan dalam novel ini adalah dalam segi gaya bahasa yang
digunakan karena sedikit menyulitkan pembaca dalam memahami makna ceritanya.
V.
PERBANDINGAN
BUKU
Novel La Hami karya Marah Rusli ini
akan dibandingkan dengan novel dari Motinggo Busye yang berjudul Badai Sampai
Sore. Perbandingan ini akan dilakukan dari sudut kelebihan dan kelemahan dari
kedua novel.
Kelebihan dan kelemahan novel La Hami
sudah disebutkan di atas, sedangkan novel Badai Sampai Sore karya Motinggo
Busye kelemahan dan kelebihannya sebagai berikut.
a.
Kelebihan :
dalam novel banyak terkandung nilai-nilai persahabatan antara Salmun dan
Sunarto. Kemudian gaya bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia bukan
bahasa melayu. Ceritanya pun masih mengenai kisah kerajaan sedangkan novel
Motinggo Busye ini cerita yang dikisahkan sudah mengenai cerita keseharian.
b.
Kelemahan :
kelemahan dalam novel ini adalah pada alur cerita yang digunakan. Alur cerita
yang digunakan adalah alur maju sehingga pembaca mudah menebak jalan cerita.
waktu kejadiannya
BalasHapusUnsur ekstrinsiknya?
BalasHapusunsur ekstrinsiknya?
BalasHapus